Minggu, 22 Juni 2014 0 komentar
M. Natsir : Inklusifisme dan Persatuan

Sejarah pembentukan Negara Indonesia mencatatkan berbagai macam warna dalam perjuangan nya. Salah satu corak yang mewarnai pembentukan sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah pemikiran dan Ideologi. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia merupakan salah satu penyumbang kontribusi dalam sejarah pembentukan Negara Indonesia. M. Natsir (1908-1993), salah seorang tokoh intelektual muslim yang memberikan warnah dalam sejarah pembentukan dan perjuangan bangsa Indonesia. Sejak pelajar, ia telah menuliskan berbagai pemikirannya dalam berbagai hal, antara lain politik, filsafat, budaya, pendidikan, dan agama. Salah satu pemikiran Natsir yang terkenal adalah penjelasan mengenai hubungan Agama dan Negara. Keseluruhan pemikirannya tidak pernah lepas dari masalah agama sebagai inspirasi utama dalam nilai kehidupam Akan tetapi keterkaitan seluruh pemikiran Natsir dengan masalah agama tidak lantas menjadi pemikirannya menjadi konservatif. Justru keseluruhan pemikiran Natsir yang tidak pernah lepas dari masalah agama menunjukkan kemajuan pemikirannya. Beliau meletakkan porsi yang tepat untuk membicarakan realitas dan nilai-nilai keaagamaan. Buah pemikirannya menitikberatkan pada substansi nilai keagamaan sehingga nilai-nilai agama yang universal dapat diterima dan mengesankan inklusifisme.
            Menurut Natsir, agama (baca: Islam) merupakan bagian  yang tak dapat dipisahkan dari negara. Natsir beranggapan bahwa urusan Negara, merupakan bagian integral dari risalah agama. Beliau juga mengatakan, bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Salah satu dasarr pijakan pemikirannya adalah nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar tersebut, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang manusia di dunia ini hanyalah untuk menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[1]
            Predikat “hamba Allah” tersebut tidak serta merta melekat tanpa konsekuensi apapun. Ada konsekuensi dan aturan yang Allah Allah berikan kepada manusia. “Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.”[1]
            Ada banyak pandangan keliru mengenai hubungan Islam dan Negara sehingga membuat banyak orang antipati berkenaan meleburnya nilai keaagamaan dalam Negara. Menurut Natsir, jika ingin memahami hubungan nilai keagamaan dan Negara. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menghapus stigma dan gambaran keliru tentang Negara islam yang bercampur dalam sejarah kekhalifahan muslim pada masa lalu. Pada dasarnya Islam tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga beberapa kalangan. Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” [2]
            Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam melainkan hanya alat merealisasikan nilai-nilai universal Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunah. Semua nilai-nilai Islam itu, menyebutkan di antaranya kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan kemiskinan, kebebasan, keadilan , dan kesejahteraan masyarakat, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya nilai-nilai ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat.” [3]
Di lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dengan negara. Secara implisit dalam hal ini memang tidak ada pernyataan yang tegas oleh teks keagamaan mengenai penyatuan agama dan Negara. Akan tetapi Negara sebagai instrument untuk mewujudkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari nilai keagamaan sebagai inspirasi.
Kemudian, menyinggung soal penamaan negara, Natsir tidak bersikeras menamakannya “Chalifah”: “Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan nilai-nilai Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik.” [4]
Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, “Agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja.”[5]
Inklusifisme Natsir juga ditunjukkan dengan penerimaan yang terbuka terhadap gagasan baru. Ia tidak serta merta menuduh setiap gagasan yang baru yang tidak lahir dari komunitas Muslim sebagai gagasan yang salah dan tidak bisa diterima. Keterbukaannya ini ditunjukkan terhadap penerimaan terhadap nilai demokrasi dan pancasila sebagai dasar Negara. Natsir menganggap bahwa tidak ada pertentangan antara pancasila dan islam. Secara substansi, ia menilai terdapat kesesuaian antara pancasila dan islam serta nilai kebaikan universal. Sehingga ia tidak secara egois memaksakan dasar Negara adalah islam. Dalam hal ini ia menitik-beratkan terhadap substansi dan persatuan dalam membangun Negara. Sehingga ia paham betul terhadap toleransi antar golongan dalam pembangunan negara
Terhadap pemimpin negara, umat mempunyai kewajiban patuh terhadapnya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai. Prinsip tersebut sejalan dengan apa yang kita kenal dengan demokrasi.
Natsir mengakui demokrasi itu baik, demokrasi merupakan sistem yang fleksibel dan mengakui ketidaksempurnaannya dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan koreksi terhadapnya. Oleh karena itu, beliau berpandangan bahwa masyarakat harus ikut mengisinya dengan spirit dan nilai kebaikan. Dengan inklusifisme dan keterbukaan semacam itu, Natsir tidak canggung dalam membela Pancasila sebagai dasar Negara. Natsir mengatakan, dengan tegas Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang kelima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia
Keterbukaan dan inklusifisme Natsir adalah hal yang membahagiakan dalam pembangunan peradaban modern ini. Nilai-nilai keagamaan bukanlah nilai yang kaku terhadap gagasan baru sepanjang tidak bertentangan dengan nilai keagamaan tersebut. Inklusifisme mutlak diperlukan dalam rangka mengakomodir keragaman Indonesia menuju kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. Nilai-nilai keagamaan adalah nilai yang mutlak ada dan harus dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi catatan penting yang perlu kita pahami lebih dalam adalah persatuan merupakan hal yang mutlak dalam pembangunan Negara. Sehingga setiap golongan masyarakat harus menjauhkan egoism golongan dan bersatu pada nilai-nilai kebaikan universal, yaitu kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan.

Referensi :
[1] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 436
[2] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 440
[3] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 442
[4] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 443
[5] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 446
 
;