M. Natsir : Inklusifisme dan Persatuan
Sejarah
pembentukan Negara Indonesia mencatatkan berbagai macam warna dalam perjuangan
nya. Salah satu corak yang mewarnai pembentukan sejarah perjalanan bangsa
Indonesia adalah pemikiran dan Ideologi. Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia merupakan salah satu penyumbang kontribusi dalam sejarah pembentukan
Negara Indonesia. M. Natsir (1908-1993), salah seorang tokoh intelektual muslim
yang memberikan warnah dalam sejarah pembentukan dan perjuangan bangsa Indonesia.
Sejak pelajar, ia telah menuliskan berbagai pemikirannya dalam berbagai hal,
antara lain politik, filsafat, budaya, pendidikan, dan agama. Salah satu
pemikiran Natsir yang terkenal adalah penjelasan mengenai hubungan Agama dan
Negara. Keseluruhan pemikirannya tidak pernah lepas dari masalah agama sebagai
inspirasi utama dalam nilai kehidupam Akan tetapi keterkaitan seluruh pemikiran
Natsir dengan masalah agama tidak lantas menjadi pemikirannya menjadi
konservatif. Justru keseluruhan pemikiran Natsir yang tidak pernah lepas dari
masalah agama menunjukkan kemajuan pemikirannya. Beliau meletakkan porsi yang
tepat untuk membicarakan realitas dan nilai-nilai keaagamaan. Buah pemikirannya
menitikberatkan pada substansi nilai keagamaan sehingga nilai-nilai agama yang
universal dapat diterima dan mengesankan inklusifisme.
Menurut Natsir, agama (baca: Islam) merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dari
negara. Natsir beranggapan bahwa urusan Negara, merupakan bagian integral dari risalah
agama. Beliau juga mengatakan, bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup
atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Salah satu dasarr
pijakan pemikirannya adalah nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi
Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar tersebut, ia
berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang manusia di dunia ini hanyalah untuk
menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[1]
Predikat “hamba Allah” tersebut
tidak serta merta melekat tanpa konsekuensi apapun. Ada konsekuensi dan aturan
yang Allah Allah berikan kepada manusia. “Aturan atau cara kita berlaku
berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan
dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku
berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan
dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya
seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri
seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang
sekarang dengan urusan kenegaraan.”[1]
Ada banyak pandangan keliru mengenai
hubungan Islam dan Negara sehingga membuat banyak orang antipati berkenaan
meleburnya nilai keaagamaan dalam Negara. Menurut Natsir, jika ingin memahami
hubungan nilai keagamaan dan Negara. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
menghapus stigma dan gambaran keliru tentang Negara islam yang bercampur dalam
sejarah kekhalifahan muslim pada masa lalu. Pada dasarnya Islam tidak pernah
bersatu dengan negara sebagaimana diduga beberapa kalangan. Dengan logika
seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung terhadap gagasan pemisahan
agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau
ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani
Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita
berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu
tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti
dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara
yang semacam itu.” [2]
Natsir menegaskan bahwa negara
bukanlah tujuan akhir Islam melainkan hanya alat merealisasikan nilai-nilai
universal Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunah. Semua nilai-nilai Islam
itu, menyebutkan di antaranya kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan
kemiskinan, kebebasan, keadilan , dan kesejahteraan masyarakat, tidak ada
artinya manakala tidak ada negara. Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan
“kesempurnaan berlakunya nilai-nilai ilahi, baik yang berkenaan dengan
kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota
masyarakat.” [3]
Di
lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada
ijma tentang persatuan agama dengan negara. Secara implisit dalam hal ini
memang tidak ada pernyataan yang tegas oleh teks keagamaan mengenai penyatuan
agama dan Negara. Akan tetapi Negara sebagai instrument untuk mewujudkan
kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari nilai
keagamaan sebagai inspirasi.
Kemudian,
menyinggung soal penamaan negara, Natsir tidak bersikeras menamakannya
“Chalifah”: “Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan
Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang
diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan nilai-nilai Islam berjalan
dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam
praktik.” [4]
Yang
menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, “Agamanya, sifat dan
tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan
kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya
saja.”[5]
Inklusifisme
Natsir juga ditunjukkan dengan penerimaan yang terbuka terhadap gagasan baru.
Ia tidak serta merta menuduh setiap gagasan yang baru yang tidak lahir dari
komunitas Muslim sebagai gagasan yang salah dan tidak bisa diterima.
Keterbukaannya ini ditunjukkan terhadap penerimaan terhadap nilai demokrasi dan
pancasila sebagai dasar Negara. Natsir menganggap bahwa tidak ada pertentangan
antara pancasila dan islam. Secara substansi, ia menilai terdapat kesesuaian
antara pancasila dan islam serta nilai kebaikan universal. Sehingga ia tidak
secara egois memaksakan dasar Negara adalah islam. Dalam hal ini ia
menitik-beratkan terhadap substansi dan persatuan dalam membangun Negara.
Sehingga ia paham betul terhadap toleransi antar golongan dalam pembangunan
negara
Terhadap
pemimpin negara, umat mempunyai kewajiban patuh terhadapnya selama ia benar
dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi
atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan kewajiban
musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai. Prinsip
tersebut sejalan dengan apa yang kita kenal dengan demokrasi.
Natsir
mengakui demokrasi itu baik, demokrasi merupakan sistem yang fleksibel dan
mengakui ketidaksempurnaannya dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk
memberikan koreksi terhadapnya. Oleh karena itu, beliau berpandangan bahwa
masyarakat harus ikut mengisinya dengan spirit dan nilai kebaikan. Dengan
inklusifisme dan keterbukaan semacam itu, Natsir tidak canggung dalam membela
Pancasila sebagai dasar Negara. Natsir mengatakan, dengan tegas Indonesia
menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari
Pancasila, kaidah yang kelima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak
dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia
Keterbukaan
dan inklusifisme Natsir adalah hal yang membahagiakan dalam pembangunan
peradaban modern ini. Nilai-nilai keagamaan bukanlah nilai yang kaku terhadap
gagasan baru sepanjang tidak bertentangan dengan nilai keagamaan tersebut.
Inklusifisme mutlak diperlukan dalam rangka mengakomodir keragaman Indonesia
menuju kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. Nilai-nilai keagamaan adalah
nilai yang mutlak ada dan harus dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi catatan penting yang perlu kita pahami
lebih dalam adalah persatuan merupakan hal yang mutlak dalam pembangunan
Negara. Sehingga setiap golongan masyarakat harus menjauhkan egoism golongan
dan bersatu pada nilai-nilai kebaikan universal, yaitu kebebasan, keadilan, dan
kesejahteraan.
Referensi
:
[1] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 436
[2] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 440
[3] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 442
[4] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 443
[5] M. Natsir, Capita Selecta 1, Hal 446